Refleksi Hari Lahir Pancasila: Antara Seremoni dan Kesadaran Sejati

Refleksi Hari Lahir Pancasila: Antara Seremoni dan Kesadaran Sejati

Oleh: Muzakkir, S.IP

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Spanduk-spanduk bertuliskan “Pancasila Rumah Kita” menghiasi jalanan, pidato-pidato resmi menggaungkan pentingnya kembali pada nilai-nilai luhur bangsa, dan media sosial ramai dengan ucapan selamat disertai gambar burung Garuda.

Namun setelah semua euforia itu lewat, pertanyaan penting pun mencuat: apakah Pancasila sungguh-sungguh hadir dalam keseharian kita, atau hanya jadi simbol yang kian kehilangan makna?

Pancasila, sebagai dasar negara, bukan sekadar rangkaian kata indah yang dihafalkan di sekolah. Ia adalah pedoman hidup berbangsa dan bernegara, yang mestinya tercermin dalam kebijakan publik, perilaku pemimpin, hingga interaksi antarwarga.

Sayangnya, banyak fakta di lapangan justru menunjukkan ketimpangan antara simbol dan implementasi.

Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama, seringkali hanya dijadikan tameng untuk pembenaran moral, namun toleransi antarumat beragama masih menjadi pekerjaan rumah besar. Masih ada kelompok yang disudutkan karena keyakinan berbeda, dan masih banyak ujaran kebencian yang dibungkus atas nama agama.

BACA JUGA:  Lebih Banyak Dampak Negatif, APDESI Cigombong Minta KEK Lido Dievaluasi

Kemanusiaan yang adil dan beradab seakan hanya tinggal jargon. Kasus-kasus kekerasan, diskriminasi, hingga pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi, bahkan melibatkan aparat negara. Di tengah gempuran arus digital, ujaran kebencian dan perundungan justru makin marak di ruang-ruang virtual kita.

Persatuan Indonesia pun sering kali diuji oleh politik identitas, polarisasi, dan konflik horizontal yang mengoyak tenun kebangsaan. Kita kerap lebih mudah terpecah karena perbedaan pilihan politik, suku, atau agama, ketimbang bersatu dalam tujuan bersama membangun negeri.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, kini kerap tergerus oleh pragmatisme politik. Kepentingan rakyat kerap dikalahkan oleh kepentingan elite, sementara ruang dialog dan musyawarah yang sejati semakin sempit tergantikan oleh suara mayoritas yang tak selalu merepresentasikan aspirasi.

BACA JUGA:  Idul Adha 1446 H: Bupati Bogor Terima 58 Sapi Kurban dari Presiden

Dan akhirnya, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih menjadi mimpi panjang. Kesenjangan ekonomi makin lebar, akses terhadap pendidikan dan kesehatan belum merata, dan keadilan hukum sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Momentum Hari Lahir Pancasila seharusnya menjadi ajakan untuk merefleksikan ulang: apakah nilai-nilai dasar negara ini masih hidup dalam diri kita? Apakah Pancasila sungguh menjadi dasar bertindak, atau hanya menjadi ornamen dalam pidato dan seremoni?

Pancasila tidak akan hidup kalau hanya terpajang di dinding ruang kelas atau kantor pemerintahan. Ia hidup ketika rakyat diperlakukan dengan adil, ketika perbedaan tidak menjadi alasan untuk membenci, ketika pejabat memegang amanah dengan jujur, dan ketika setiap warga merasa memiliki dan mencintai tanah air ini secara tulus.

Mari, pada 1 Juni ini, kita bukan hanya memperingati kelahiran Pancasila, tapi juga menghidupkan kembali semangatnya dalam tindakan nyata. Karena sejatinya, Pancasila tidak butuh sekadar penghormatan simbolik, melainkan pengamalan yang autentik.***

Tags: ,

Baca Juga

Rekomendasi lainnya