Hari Jadi Bogor: Dirayakan Pejabat, Sunyi di Hati Rakyat

Ilustrasi

Pada setiap 3 Juni, Kota dan Kabupaten Bogor seperti berubah rupa. Bendera spanduk dipasang di pinggir jalan, baliho besar memuat ucapan selamat dan foto-foto pejabat tersenyum rapi.

Inilah Hari Jadi Bogor, momen yang semestinya jadi milik semua. Namun perayaan bahagia ini justru terasa semakin jauh dari rakyatnya.

Di aula pemerintahan, tamu undangan duduk bersisian dalam balutan batik atau pangsi Sunda. Sementara pidato dilontarkan penuh semangat tentang kemajuan dan harapan. Tapi, di gang-gang sempit, di pasar-pasar tradisional, dan di kampung-kampung ini nyaris tak memberi arti.

Bendera Berkibar, Tapi Rasa Tak Berkembang

Kondisi ini mencerminkan ironi yang dalam. Kota yang menua dalam angka dan usia, tak bertambah dalam rasa kepemilikan warganya.

Bukannya jadi ruang berbagi dan berpesta bersama, Hari Jadi Bogor justru kian menyerupai pertunjukan tertutup panggung megah yang hanya bisa disaksikan dari linimasa media sosial.

Dari Seremoni Menuju Simbol Kekuasaan

Setiap momentum Hari Jadi Bogor selalu disambut dengan semangat oleh para pemangku kebijakan. Ada upacara adat, kirab budaya, yang ironisnya sering hanya digelar di pusat pemerintahan yang mudah dijangkau kamera dan pejabat.

BACA JUGA:  Baliho Pilkada: Antara Ambisi dan Estetika Kota

Rakyat kecil, mereka yang tinggal di pinggiran, di bantaran sungai, di pemukiman yang tak tersentuh pembangunan, hanya menjadi penonton dari kejauhan.

Anak Muda Tak Lagi Kenal Akar

Lebih menyedihkan lagi, generasi muda mulai terputus dari akar sejarah kotanya. Banyak yang tak tahu mengapa tanggal 3 Juni diperingati, siapa tokoh-tokoh penting dalam perjalanan Bogor, atau apa makna simbol-simbol budaya yang kerap dipertontonkan dalam parade tahunan.

“Saya tahu ada acara Hari Jadi Bogor, tapi jujur enggak tahu sejarahnya,” aku Santi, siswi SMA di kawasan Cibinong. “Kalau pun ada acara, paling konser atau pameran UMKM. Tapi sejarahnya sendiri jarang dibahas.”

Ketiadaan edukasi publik yang menyeluruh dan keterlibatan warga dalam proses perayaan ini membuat Hari Jadi Bogor menjadi kosong makna. Ia ada di kalender, tapi hampa di jiwa.

Saatnya Mengembalikan Hari Jadi Kepada Rakyat

Apa arti Hari Jadi Bogor bila rakyatnya tak ikut bersyukur? Apa makna perayaan bila yang dirayakan hanya segelintir orang?

BACA JUGA:  Pada Peringatan HJB ke 542 Tahun 2024, Pemkab Bogor Usung Tema ‘Babarengan, Akur, dan Makmur’ 

Hari Jadi Bogor harusnya menjadi panggung besar bagi seluruh rakyat untuk merasa dimiliki dan memiliki. Bukan sekadar pesta visual di gedung-gedung pemerintah, melainkan pesta hati yang menyentuh gang-gang sempit dan lorong-lorong kehidupan.

Saatnya pemerintah membuka ruang selebar-lebarnya untuk rakyat ikut merayakan. Libatkan warga dalam bentuk yang paling sederhana: bazar murah di kampung-kampung, lomba kebersihan antar RT, festival budaya keliling kecamatan, atau sekadar panggung hiburan rakyat di lapangan terbuka. Bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai bagian dari sejarah dan masa depan Bogor.

Bogor Tidak Akan Besar Tanpa Rakyatnya

Kota ini tidak dibangun oleh pidato. Ia dibentuk oleh peluh dan harapan rakyat yang bekerja diam-diam: tukang parkir, buruh pabrik, petani sayur, pedagang keliling, guru honorer, hingga anak-anak yang belajar di bangku sekolah reyot.

Hari jadi Bogor harusnya menjadi hari di mana mereka dirayakan, didengarkan, dan diberi ruang untuk bersuara. Sebab Bogor bukan milik pejabat, Bogor adalah milik kita semua.***

Tags:

Baca Juga

Rekomendasi lainnya